Hasil Penelitian
FAKTOR- FAKTOR YANG BERHUBUNGAN
DENGAN KEJADIAN ANEMIA PADA PASIEN PENYAKIT GINJAL KRONIK YANG
MELAKUKAN
HEMODIALISIS DI RUMAH SAKIT
LABUANG BAJI
MAKASSAR
2012
Oleh
:
EKA
SUPRIANTO BALALIO
142 280 060
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS MUSLIM
INDONESIA
MAKASSAR
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit ginjal kronik adalah proses kerusakan pada
ginjal dengan rentan waktu lebih dari 3 bulan. Penyakit ginjal kronik dapat menimbulkan simtoma
berupa laju filtrasi
glomerular di bawah 60
mL/men/1.73 m2, atau di atas nilai tersebut namun disertai dengan kelainan
sedimen urin.
Adanya batu ginjal juga dapat menjadi indikasi penyakit ginjal kronik pada penderita kelainan bawaan
seperti hiperoksaluria dan sistinuria (Lieske,2011).
Sampai saat ini penderita penyakit gagal ginjal tergolong
banyak, menurut data dari Yayasan Ginjal Diatrans Indonesia (YGDI) pada tahun
2005 di seluruh dunia terdapat 1,1 juta orang menjalani dialisis kronik, serta
diproyeksikan pada tahun 2010 menjadi lebih dari 2 juta orang. Di Indonesia
sendiri, angka kejadian gagal ginjal terminal berada pada 100 pasien baru setiap
1 juta penduduk per tahun (YDGI, 2005).
Di Amerika Serikat misalnya angka
kejadian penyakit gagal ginjal meningkat tajam dalam 10 tahun. Tahun 2003
terjadi 166.000 kasus. GGT (gagal ginjal tahap akhir) dan pada tahun 2008
menjadi 372.000 kasus. angka ini diperkirakan, masih akan terus naik. Pada
tahun pada tahun 2014 jumlahnya diperkirakan lebih dari 650.000 kasus.Selain itu,
sekitar 6 juta hingga 20 juta individu di Amerika diperkirakan mengalami
penyakit ginal kronik tahap awal. Hal yang sama juga terjadi di Jepang di
negeri Sakura itu, pada akhir tahun 1996 didapatkan sebanyak 167.000 penderita
yang menerima, terapi pengganti ginjal. Sedangkan tahun 2000 terjadi
peningkatan lebih dari 200.000 penderita (Santoso, 2008).
Pada tahun 2008 jumlah pasien gagal
ginjal mencapai 2260 orang, salah satu faktor penyebab meningkatnya angka
penderita gagal ginjal dari tahun ke tahun di dunia ini salah satunya adalah kurangnya
kesadaran masyarakat terhadap infeksi dini penyakit tersebut (Vida, 2008).
Penyakit
ginjal menyebabkan pasien mengalami permasalahan-permasalahan yang bersifat
fisik, psikologis, dan sosial yang dirasakan sebabagi kondisi yang menekan dan
permasalahan psikologis yang dialami pasien penyakit ginjal kronik ditunjukkan
dari sejak pertama kali pasien divonis mengalami penyakit ginjal kronik (Iskandarsyah, 2006).
Prosedur pengobatan yang digunakan untuk memperbaiki
keadaan tersebut adalah melalui hemodialisis atau transplantasi ginjal, tetapi
karena mahalnya biaya operasi transplantasi ginjal dan susahnya pencarian donor
ginjal, maka cara terbanyak yang digunakan yaitu hemodialisis (Iskandarsyah,
2006).
Dampak dari pasien penyakit ginjal
kronik yang menjalani terapi hemodialisis salah satunya adalah anemia.anemia
pada GGK muncul ketika kreatinin turun kira-kira 40 ml/mnt.anemia akan berat
lagi apabila fungsi ginjal menjadi lebih buruk lagi tetapi apabila ginjal sudah
mencapai stadium akhir,anemia akan secara relatif menetap. anemia pada gagal
ginjal kronik terutama diakibatkan oleh berkurangnya eritropoetin. Anemia
merupakan kendala yang cukup besar bagi upaya mempertahankan kualitas hidup
pasien penyakit ginjal kronik (Lewis,2005).
Dalam penelitian sebelumnya faktor
utama yang menyebabkan terjadinya anemia adalah defisiensi eritropoetin (EPO) sebagai akibat kerusakan sel-sel penghasil EPO (sel
peritubuler) pada ginjal. Di samping itu ada beberapa factor yang memperberat
terjadinya anemia antara lain adanya zat inhibitor eritropoesis, pendarahan akibat trombopati, anemia hemolitik akibat
terjadinya mikroangiopati, kehilangan darah akibat pengambilan darah untuk
pemeriksaan laboratorium atau darah yang terperangkap atau darah yang
tertinggal di alat hemodialisis, defisiensi zat besi dan zat nutrisi lainya, hiperparatiroid
sekunder
(Suryanto, 2005).
Anemia
pada penyakit ginjal kronik umumnya disebabkan oleh berkurangnya hemoglobin
dalam darah sehingga proses produksi eritropoetin
juga berkurang.selanjutnya mereka mengalami anemia jika kadar hemoglobin di
bawah 11 gr/dl.di Rumah Sakit Labuang Baji Makassar ruang hemodialisis dari
bulan Januari sampai Oktober 2012 terdapat 31 pasien penyakit ginjal kronik
yang menjalani terapi hemodilaisis ( Rumah Sakit Labuang
Baji Makassar, 2012).
Di
Rumah Sakit Labuang Baji Makassar, jumlah kunjungan rawat jalan dengan diagnosa
gagal ginjal pada tahun 2009 sebanyak 3503 kunjungan, tahun 2010 sebanyak 3203
kunjungan, tahun 2011 sebanyak 2545 kunjungan, dan pada tahun 2012 (Januari –
Oktober) jumlah kunjungan sebanyak 2347 kunjungan (Rumahh Sakit Labuang Baji
Makassar, 2012).
Dari
observasi awal serta wawancara singkat dengan kepala ruangan hemodialisis di
ruang hemodialisis Rumah sakit Labuang Baji Makassar, didapatkan perubahan
fisik yang terjadi pada mereka yang menjalani hemodialisis yaitu pruritus (gatal-gatal pada kulit),
kering,belang,dan juga termasuk anemia yang merupakan efek dari proses
hemodialisis.
Dengan dilakukannya
penelitian ini nantinya diharapkan dapat diketahui pelaksanaan hemodialisis
dapat mengakibatkan Anemia pada sebagian besar pasien penyakit ginjal kronik.Selama
ini penelitian tentang hubungan anemia pada pasien penyakit ginjal kronik yang
melakukan hemodialysis masih kurang , sehingga hal ini yang mendorong peneliti untuk
melakukan penelitian ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang tersebut di atas, maka rumusan
masalahnya adalah “Faktor-faktor apakah yang berhubungan dengan kejadian Anemia
pada pasien Penyakit Ginjal Kronik yang melakukan hemodialisis di Ruang
Hemodialisis Rumah Sakit Labuang Baji Makassar?”
C.
Tujuan
Penelitian
1.
Tujuan umum :
Untuk mengetahui Faktor – faktor
yang berhubungan dengan kejadian Anemia pada pasien Penyakit Ginjal Kronik yang
melakukan Hemodialisis di Ruang Hemodialisis Rumah Sakit Labuang Baji Makassar.
2. Tujuan Khusus
a.
Untuk mengetahui hubungan antara
umur dengan kejadian anemia pada pasien penyakit ginjal kronik yang melakukan
hemodialysis di ruang hemodialisis Rumah sakit Labuang Baji Makassar 2012.
b.
Untuk mengetahui hubungan antara
status gizi dengan kejadian anemia pada pasien penyakit ginjal kronik yang melakukan
hemodialysis di ruang hemodialisis Rumah sakit Labuang Baji Makassar 2012.
c.
Untuk mengetahui hubungan antara
jenis kelamin dengan kejadian anemia pada pasien penyakit ginjal kronik yang melakukan
hemodialisis di ruang hemodialisis Rumah sakit Labuang Baji Makassar 2012.
d.
Untuk mengetahui hubungan antara
pekerjaan dengan kejadian anemia pada pasien penyakit ginjal kronik yang melakukan
hemodialysis di ruang hemodialisis Rumah sakit Labuang Baji Makassar 2012.
e.
Untuk mengetahui hubungan antara
lama HD dengan kejadian anemia pada pasien penyakit ginjal kronik yang melakukan
hemodialysis di ruang hemodialisis Rumah sakit Labuang Baji Makassar 2012.
D. Manfaat Peneliti
1. Hasil
penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan ilmiah bagi peningkatan ilmu
pengetahuan,terutama yang terkait dengan kejadian anemia pada pasien Penyakit
Ginjal Kronik yang melakukan hemodialisis.
2.
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan
informasi kepada perawat ruang hemodialisis tentang Anemia yang sering terjadi
pada pasien Penyakit Ginjal Kronik yang telah melakukan Hemodialisis.
3.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan informasi kepada keluarga yang memiliki anggota keluarga yang sedang
menjalani terapi Hemodialisis.
4.
Sebagai bahan bacaan yang diharapkan dapat
bermanfaat bagi peneliti berikutnya.
5.
Sebagai latihan dan pengalaman berharga bagi
peneliti untuk mengetahui kejadian anemia yang terjadi pada pasien Penyakit
Ginjal Kronik yang melakukan Hemodialisis dan dapat menerapkanya di lapangan.
6.
Mengembangkan intervensi keperawatan bagi
pasien penyakit ginjal kronik yang mengalami anemia untuk pemberian eritropoetin atau tindakan lain guna
meminimalisir timbulnya pendarahan yang dapat menyebabkan anemia.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
A.
Tinjauan
Tentang Penyakit Ginjal Kronik
1. Defenisi
Smeltzer
(2005) menjelaskan penyakit ginjal kronik adalah gangguan fungsi renal yang
progresif dan ireversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi
urea dan sampah nitrogen lain dalam darah).
Penyakit
ginjal kronik atau penyakit ginjal tahap akhir (end-stage ginjal disease,
ERDS) adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan penurunan fungsi ginjal
yang diakibatkan oleh proses kerusakan ireversibel (Patricia, 2006).
Penyakit
ginjal kronik menurut Corwin (2006) yaitu destruksi struktur ginjal yang
progresif dan terus menerus.
Dari
definisi diatas dapat disimpulkan bahwa penyakit ginjal kronik merupakan
penurunan fungsi ginjal perlahan yang mengakibatkan kemampuan ginjal untuk
mengeluarkan hasil-hasil metabolisme tubuh terganggu. Hal ini terjadi setelah
berbagai macam penyakit yang merusak nefron ginjal yang lebih lanjut akan
dibahas pada etiologi penyakit ginjal kronik (Corwin, 2006).
2. Etiologi
Price
& Wilson (2006) mengklasifikasikan sebab-sebab penyakit ginjal kronik dalam
tabel berikut.
Tabel
2.1
Klasifikasi
sebab-sebab penyakit ginjal kronik
Klasifikasi Penyakit
|
Penyakit
|
Infeksi
Penyakit peradangan
Penyakit
vascular hipertensif
Gangguan
jaringan penyambung
Gangguan konginetal dan herediter
Penyakit metabolic
Nefropati toksik
Nefropati obstruktif
|
Pielonefritis kronik
Glomerulonefritis
Nefroskelerosis benigna
Nefroskelerosis maligna
Lupus eritomotosus
sistemik
Poliarteritis nosoda
Skelerosis sistemik
progresif
Penyakit ginjal
polikiistik
Asidosis tubulus ginjal
Diabetes mellitus
Gout
Hiperparatiroidisme
Amiloidosis
Penyalahgunaan analgetic
Nefropati timbale
Saluran kemih bagian atas
: kalkuli,retinoperitoneal
Saluran kemih bagian atas
: hipertrofi prostat,striktur uretra,anomaly conginetal pada leher kandung
kemih dan uretra
|
3. Tanda
dan Gelaja
Smeltzer (2005) dalam buku ajar keperawatan
medikal bedah menjelaskan tanda dan gejala penyakit ginjal kronis.
Tabel 2.2
Tabel 2.2
Tanda dan gejala penyakit ginjal
kronik
Kardiovaskuler
|
Hipertensi
Pitting edema (kaki,tangan,sacrum
)
Edema periorbital
Friction
rub pericardial
Pembesaran vena
leher
|
Integumen
|
Warna kulit abu-abu
mengkilat
Kulit kering
bersisik
Pruritus
Ekimosis
Kuku tipis dan
rapuh
Rambut tipis dan
kasar
|
Pulmoner
|
Krekels
Sputum kental
Nafas dangkal
Pernafasan kussmaul
|
Gastrointestinal
|
Nafas berbau
ammonia
Ulserasi dan
pendarahan di mulut
Anoreksia,mual da
muntah
Konstipasi dan
diare
Pendarahan dari
saluran GI
|
Neurologi
|
Kelemahan dan
keletihan
Konfusi
Disorientasi
Kejang
Kelemahan pada
tungkai
Rasa panas pada
telapak kaki
Perubahan perilaku
|
Muskuloskeletal
|
Kram otot
Kekuatan otot
hilang
Fraktur tulang
Foot
drop
|
Reproduksi
|
Amenorea
Atrofi testikuler
|
4. Stadium
Seperti
pada pembahasan sebelumnya, penurunan fungsi ginjal tidak berlangsung secara
sekaligus, melainkan berlangsung seiring berjalannya waktu.
Apabila
masalah pada ginjal dapat dideteksi sedini mungkin maka terapi untuk
memperlambat penurunan fungsi ginjal dapat dilakukan dengan cepat untuk sebisa
mungkin penurunan fungsi ginjal tersebut tidak mencapai stadium akhir. Untuk
itu penting bagi penderita mengetahui pada stadium berapa penyakit ginjal kronik
yang dideritanya agar tim medis dapat memberikan terapi yang tepat (Hartono,
2008).
Yayasan
Ginjal Diatrans Indonesia (YGDI) (2008) membagi 5 stadium penyakit ginjal
kronik yang ditentukan melalui penghitungan nilai glumelular filtration rate (GFR).
a. Stadium
1, dengan GFR normal (>90 ml/min)
b. Stadium
2, dengan penurunan GFR ringan (60 s/d 89 ml/min)
c. Stadium
3, dengan penurunan GFR moderat (30 s/d 59 ml/min)
d. Stadium
4, dengan penurunan GFR parah (15 s/d 29 ml/min)
e. Stadium
5, penyakit gagal ginjal stadium akhir / terminal (>15 ml/min)
5. Penatalaksanaan
Smeltzer
(2005) memaparkan bahwa tujuan penatalaksanaan adalah untuk mempertahankan
fungsi ginjal dan homeostatis selama mungkin.
Prosedur
pengobatan yang digunakan untuk memperbaiki keadaan tersebut adalah melalui
hemodialisis atau transplantasi ginjal, tetapi karena mahalnya biaya operasi
transplantasi ginjal dan susahnya pencarian donor ginjal, maka cara terbanyak
yang digunakan yaitu hemodialisis (Iskandarsyah, 2006).
membahas
bahwa terapi hemodialisis dibutuhkan apabila fungsi ginjal seseorang telah
mencapai tingkatan terakhir (stadium 5) atau lebih lazim dengan penyakit ginjal
terminal dan pada keadaan ini hemodialisis dilakukan dengan mengalirkan darah
kedalam suatu tabung ginjal buatan (dialiser) yang terdiri dari dua kompartemen
yang terpisah. Hemodialisis akan dipaparkan secara jelas pada pembahasan
selanjutnya (Kumala, 2011).
B.
Tinjauan
Tentang Hemodialisa
1. Definisi
Hemodialisis
adalah tindakan mengeluarkan air yang berlebih zat sisa nitrogen yang terdiri atas ureum,
kreatinin, serta asam urat dan
elektrolit seperti kalium, fosfor, dan lain-lain yang berlebihan pada klien
penyakit ginjal kronik, khususnya pada penyakit ginjal terminal (Hartono,
2008).
Corwin
(2006) menjelaskan hemodialisis adalah dialisis yang dilakukan diluar tubuh.
Pada prosedur ini darah dikeluarkan dari tubuh, melalui sebuah kateter dan
masuk ke dalam sebuah alat besar (mesin) yamng memiliki membranesemipermeabel.
Hemodialisis
adalah tindakan untuk mengambil zat-zat nitrogen yang toksik dari dalam darah
dan mengeluarkan air yang berlebih (Smeltzer, 2005).
Berdasarkan
beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa hemodialisis merupakan
tindakan mengeluarkan zat sisa metabolisme dan cairan berlebih melalui membran
semi permiabel dengan prinsip dialysis (Smeltzer, 2005)
2. Indikasi Dan Kontraindikasi
Indikasi
hemodialisis yaitu penyakit ginjal yang tidak lagi dapat dikontrol melalui
penatalaksanaan konservatif, pemburukan sindrom uremia yang berhubungan dengan
EDRS (mis, mual, muntah, perubahan neurologis, kondidi neuropatik,
perikarditis), gangguan cairan atau elektrolit berat yang tidak dapat dikontrol
oleh tindakan yang lebih sederhatan (Patricia, 2006).
3. Prinsip
Kerja
Smeltzer
(2005) menjelaskan ada 3 prinsip yang mendasari kerja hemodialisis,yaitu:
a. Difusi, toksik dalam darah dikeluarkan
melalui proses difusi dengan cara bergerak
dari darah (konsentrasi tinggi) ke cairan dialisat (konsentrasi rendah).
b. Osmosis,
air yang berlebih dikeluarkan melalui proses osmosis, pengeluaran air
dikendalikan dengan menciptakan gradien tekanan air bergerak dari daerah dengan
tekanan yang lebih tinggi (tubuh pasien) ke tekanan yang lebih rendah (cairan
dialisat).
c. Ultrafiltrasi, gradien dapat ditingkatkan
melalui penambahan tekanan negatif yang
dikenal sebagai untrafiltrasi pada mesin dialisis. Tekanan negatif diterapkan
pada alat ini sebagai kekuatan pengisap pada membran dan memfasilitasi
pengeluaran air.
Patricia
(2006) menjelaskan proses hemodialisis dilakukan dengan menggunakan sebuah
mesin yang dilengkapi dengan membran penyaring semipermeabel (ginjal buatan)
yang memindahkan produk limbah yang terakumulasi dari darah ke dalam mesin
dialisis. Pada mesin tersebut, cairan dialisat dipompa melalui salah satu sisi
membran filter, sementara darah klien keluar dari sisi yang lain.
4. Komplikasi
Smeltzer
(2005) Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada hemodialisis yaitu :
a. Hipotensi,
dapat terjadi selama terapi dialisis ketika cairan dikeluarkan.
b. Emboli
udara, merupakan komplikasi yang jarang tetapi dapat terjadi jika udara memasuki
sistem vaskuler pasien.
c.Nyeri
dada, dapat terjadi karena pCO2 menurun Bersamaan dengan terjadinya sirkulasi
darah di luar tubuh
d. Pruritus,
dapat terjadi selama terapi dialisis ketika produk akhir metabolisme
meninggalkan kulit
e. Gangguan
keseimbangan dialisis, terjadi karena perpindahan cairan serebral dan muncul sebagai serangan kejang.
f. Kram
otot yang nyeri, terjadi ketika cairan dan elektrolit dengan cepat meninggalkan ruang ekstrasel.
5. Perubahan yang terjadi pada pasien
hemodialisis
Orang
dengan penyakit kronis menghadapi perubahan permanen dalam gaya hidupnya,
ancaman, martabat dan harga diri, gangguan transisi hidup normal dan penurunan
sumber-sumber. Hal ini diperkuat dengan hasil survey, pasien dengan penyakit
ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis lebih dari 4 tahun maka ia
telah mulai dapat menyesuaikan diri dengan penyakitnya (Iskandarsyah, 2006).
YDGI
(2008) menjelaskan perubahan yang terjadi pada pasien hemodialisis antara lain
:
a.
Problem kulit, seperti gatal-gatal (pruritus),
kulit kering (xerosis), kulit belang (skin discoloration).
b.
Rasa mual dan lelah.
c.
Masalah tidur, gangguan tidur dialami sekitar 50-80% pasien yang menjalani
terapi hemodialisis.
Lubis
(2006) terjadinya perubahan dan gangguan pada fungsi tubuh pasien hemodialisis,
menyebabkan pasien harus melakukan penyesuaian diri secara terus menerus selama
sisa hidupnya. Penyesuaian ini mencakup keterbatasan dalam memanfaatkan
kemampuan fisik dan motorik, penyesuaian terhadap perubahaan fisik dan pola
hidup, ketergantungan secara fisik dan ekonomi pada orang lain serta
ketergantungan pada mesin dialisa selama sisa hidup.
Banyak
ulama mengatakan bahwa berbekam pada bulan ramadhan itu membatalkan puasa.Berbekam
(mengeluarkan darah kotor dari kepala dan anggota tubuh lainnya) adalah makruh
karena bisa mengakibatkan tubuh menjadi lemas dan menyeret orang berbekam untuk
berbuka puasa. Demikian pula halnya yang semakna dengan ini adalah memberikan
donor darah ataupun proses dyalisis.
Hukum ini merupakan bentuk kompromi
dari hadits Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam, yaitu hadits
mutawatir yang di dalamnya beliau menyatakan :
أَفْطَرَ
الْحَاجِمُ وَالْمَحْجُوْمُ
Terjemahan : “Telah
berbuka orang yang berbekam dan orang yang membekamnya.” (H.R.Mutawir).
C.
Tinjauan
Tentang Anemia
1. Defenisi
Anemia adalah suatu kondisi dimana
tubuh tidak memproduksi sel darah merah dalam kadar yang cukup. Hal ini dapat
dinilai dari kadar hemoglobin atau sel darah merah pasein yang berada dalam
nilai dibawah normal melalui pemeriksaan laboratorium dengan mengambil sampel
darah. Hemoglobin adalah suatu protein yang mengikat oksigen dan
mengangkutnya dari paru-paru keseluruh tubuh. Nilai normal untuk Hb secara umum
adalah dalam kisaran 11.5s/d 17 gram/dl. Bila kadar Hb berkurang karena
menurunnya sel darah merah maka akan timbul gejala-gejala anemia seperti :
a. Pucat, lemas, rasa mengantuk
b. Pusing berkunang-kunang
c. Berdebar-debar
d. Sesak nafas
e. Kesemutan
f. Tidak dapat mentoleransi dingin
g. Berkurang kemampuan beraktifitas
h. Gangguan fungsi seksual
i. Gejala pada jantung seperti ampek,
sesak, hingga bisa berakibat gagal Jantung
2. Etiologi
Pada
penyebab anemia yang terjadi pada penyakit ginjal kronis antara lain :
a.
Hemolisis
(eritrosit mudah pecah)
b.
Pendarahan
c.
Penekanan
sum-sum utulang ( misalnya oleh
kanker )
d.
Defisiensi
nutrient ( nutrisional Anemia ) meliputi
defisiensi besi,folicacid,piridoksin,vitamin
C dan
Copper (Hoffbrand,2006).
3.
Patofisiologi
Patogenesis pada penyakit ginjal kronik
pada awalnya tergantung pada penyakitnya yang mendasarinya, akan tetapi dalam
perkembangan selanjutnya proses terjadi kurang lebih akan sama.karena penurunan
fungsi glomelurus filtrasi di akibatkan karena penyakit tertentu menyebabkan
terganggunya eksresi asam nukleat yang mengakibatkan penumpukan purin di
tibulus ginjal,lama kelamaan timbunn tersebut akan membentuk kristal di ginjal
(Hoffbrand, 2006).
Pada penyakit vesikuler yang terjadi
peradangan akan terjadi kerusakan yang menyebabkan penurunan filtrasi
glomelurus,ketika kerusakan ginjal berlanjut dan jumlah nefron
berkurang,sehingga ada dua adaptasi yang penting yang dilakukan ginjal.sisa
nefron yang ada mengalami hipertrofi dalam usaha untuk melaksanakan seluruh
beban kerja ginjal (Hoffbrand, 2006).
Pada penyakit ginjal kronik juga
mengganggu sistem reproduksi wanita sering mengalami ketidak teraturan
menstruasi terutama amenore dan infertilitas.pada pria akan terjadi penurunan
libido dikarenakan mengalami atrofi testis,oligosperma (jumlah sperma menurun)
dan motilitas sperma berkurang.pada sistem endokrin juga akan mengalami
gangguan seperti gangguan insulin dan paratiroid hormon.anemia terjadi karena
gangguan produksi sel darah merah,penurunan rentang,hidup sel darah merah,peningkatan
kecenderungan pendarahan (akibat kerusakan fungsi trombosit).perubahan
pertumbuhan berhubungan dengan perubahan nutrisi dan berbagai proses
biokimia.(Black & Hawks, 2005).
D. Tinjauan
Tentang Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Anemia
1.
Umur
Umur
adalah rentang kehidupan yang diukur dengan tahun, dikatakan masa awal dewasa
adalah usia 18 tahun sampai 40 tahun, dewasa Madya adalah 41 sampai 60 tahun,
dewasa lanjut >60 tahun, umur adalah lamanya hidup dalam tahun yang dihitung
sejak dilahirkan (Harlock, 2007).
Jika
dilihat dari sisi biologis, usia 18-25 tahun biasanya organ-organ tubuh sudah
berfungsi dengan baik dan belum ada penyakit-penyakit degenerative seperti
darah tinggi, diabetes, dan lainnya serta daya tahan tubuh masih kuat.tetapi
pada usia >25 adalah usia yang rentan akan penyakit kronik seperti gagal
ginjal kronik.orang yang mengalami penyakit gagal ginjal kronik dan menjalani
terapi hemodialisis kemungkinan besar akan anemia (Dini, dkk, 2009).
2.
Status gizi
Status
Gizi merupakan ekspresi satu aspek atau lebih dari nutriture seorang individu
dalam suatu variabel (Hadi, 2005). Status gizi adalah ekspresi dari keadaan
keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutriture
dalam bentuk variabel tertentu (Supariasa,2009). Sedangkan menurut Gibson (2010)
status gizi adalah keadaan tubuh yang merupakan hasil akhir dari keseimbangan
antara zat gizi yang masuk ke dalam tubuh dan utilisasinya.
Status
gizi dapat mempengaruhi kejadian anemia karena adanya pembatasan asupan karena
diet. Untuk mengetahui baik buruknya gizi seseorang yang biasa di gunakan adalah berat badan. Salah satu indikator yang biasa
dipakai untuk mengukur kategori berat badan seseorang adalah Indeks Massa Tubuh
atau yang singkat dengan IMT. Cara menghitung IMT adalah dengan : berat badan
(kilo gram) dibagi dengan kuadrat tinggi badan (meter) (Gibson, 2010).
Untuk orang Asia dewasa,
kategori IMT adalah sebagai berikut :
Klasifikasi
|
IMT (kg/m2)
|
BB kurang
BB normal
BB lebih
- Preobesitas
- Obesitas I
- Obesitas II
|
< 18,5
18,5 – 22,9
23
23 – 24,5
25 – 29,9
> 30
|
Artinya, jika
Anda mendapatkan IMT 18,5 – 22,9, berarti Berat Badan Anda termasuk dalam
kategori normal (Mietha, 2009).
3.
Jenis Kelamin
Pengertian
jenis kelamin merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia
yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Siklus
biologis membuat wanita lebih rentan terserang anemia dibandingkan pria.
Sayangnya banyak wanita yang cenderung mengabaikan penyakit ini (Indarti,
2007).
Anemia
di Indonesia masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang memengaruhi
produktivitas penderitanya. Tercatat angka kematian ibu di negeri ini mencapai
390/100 ribu kelahiran hidup (Dinkes,2010).
Adapun data tahun 2007, 20 persen dari 515.000
kematian di seluruh dunia disebabkan anemia.Untuk menangkalnya, para wanita
harus lebih banyak mengonsumsi makanan yang mengandung zat besi.Kebutuhan dan
cadangan zat besi untuk perempuan itu 1 mg/hari. Sedangkan untuk perempuan
hamil mencapai 6-10 mg/hari, kebutuhan zat besi untuk ibu hamil meningkat
seiring bertambahnya jumlah cairan di dalam tubuh (Indarti, 2007).
Hal
lain yang membuat wanita lebih berisiko terkena anemia adalah siklus haid atau
menstruasi yang tidak normal. Siklus haid atau menstruasi yang normal itu
berkisar antara 22-35 hari dihitung dari hari pertama haid hingga hari pertama
haid pada bulan berikutnya.Lama menstruasi yang normal itu antara 3-7 hari.
Kalau diperkirakan pembalut yang dihabiskan dalam jangka waktu itu antara 3-5
pembalut per hari atau sekitar 80 ml darah selama haid. kadar
hemoglobin darah antara laki-laki dan perempuan tidak sama. Laki-laki normal
memiliki kadar 13 gr persen, sedangkan perempuan normal dan lansia memiliki 12
gr persen. (Irawan,
dkk, 2008).
4.
Pekerjaan
Pekerjaan
adalah serangkaian tugas atau kegiatan yang harus dilaksanakan atau
diselesaikan oleh seseorang sesuai dengan jabatan atau profesi masing-masing.
Status pekerjaan yang rendah sering mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang.
Dan juga pekerjaan yang lebih baik adalah pekerjaan yang dapat berkembang,
bermanfaat dan memperoleh berbagai pengalaman. (Notoatmodjo, 2007).
Banyak
orang sering melakukan aktivitas yang berlebihan tanpa memikirkan kesehatanya.melakukan
aktivitas yang berlebihan dapat menyebabkan lemah,letih dan lesu,dimana lemah
,letih dan lesu dapat menyebabkan anemia.melakukan aktivitas boleh saja akan
tetapi harus di seimbangkan dengan istrahat yang cukup,olahraga yang teratur
dan juga makanan yang bergizi (Pujangkoro,2006).
5.
Lama Hemodialisis
Rata-rata
tiap orang memerlukan waktu 9 sampai 12 jam dalam seminggu untuk mencuci
seluruh darah yang ada, tetapi karena ini waktu yang cukup panjang, maka
biasanya akan dibagi menjadi tiga kali pertemuan dalam seminggu selama 3-5 jam
setiap kali hemodialisa (Hartawan, 2010).
Hal
ini tidak sama untuk tiap orang,lamanya waktu yang dibutuhkan dan berapa kali
dalam seminggu harus dilakukan hemodialisis sangat tergantung pada derajat
keruskan ginjal, diet sehari-hari, penyakit lain yang mnyertai, ukuran tubuh,
dan lain-lain (Hartawan, 2010).
Lama HD mempengaruhi kejadian anemia
karena Kehilangan darah akibat waktu yang cukup lama dari terapi hemodialisa.
Hal ini dapat terjadi karena hampir tidak mungkin semua darah pasien kembali
seluruhnya setelah terapi hemodialisa. Pasti ada darah pasien yang tinggal di
dialyzer (ginjal buatan) atau bloodline, meskipun jumlah nya tidak signifikan (Jansen,2007).
BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL
A.
Kerangka
Konsep
Berdasarkan landasan teoritis yang telah
dikemukakan pada tinjauan pustaka, maka kerangka konsep penelitian ini sebagai
berikut :
|
|
|
Variabel Moderat
Keterangan :
Variabel
Independen
Variabel Dependen
Variabel
yang di teliti
Variabel yang
tidak diteliti
B.
Hipotesis
Penelitian
Berdasarkan kerangka konsep penelitian di atas, maka
hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini :
1. Ada
hubungan antara umur dengan kejadian anemia pada pasien penyakit ginjal kronik yang melakukan
hemodialisis.
2. Ada
hubungan antara status gizi dengan kejadian anemia pada pasien penyakit ginjal
kronik yang melakukan hemodialisis.
3. Ada
hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian anemia pada pasien penyakit
ginjal kronik yag melakukan hemodialisis.
4. Ada
hubungan antara pekerjaan dengan kejadian anemia pada pasien penyakit ginjal
kronik yang melakukan hemodialisis.
5. Ada
hubungan antara lama hemodialisis dengan kejadian anemia pada pasien penyakit
ginjal kronik yang melakukan hemodialisis.
C.
Definisi
Operasional
1. Umur
Umur yang dimaksud peneliti dalam penelitian ini adalah
umur pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis.
kriteria
objektif:
Dewasa : apabila 18 - 40 tahun
Dewasa Madya :
apabila 41 – 60 tahun
Lanjut Usia :
apabila > 60 tahun
2. Status
gizi
Status
gizi yang dimaksud peneliti dalam penelitian ini adalah status gizi pasien
penyakit ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialis. Salah satu indikator yang biasa
dipakai untuk mengukur kategori berat badan seseorang adalah Indeks Massa Tubuh
atau yang singkat dengan IMT (indek massa tubuh). Cara menghitung IMT adalah
dengan : berat badan (kilo gram) dibagi dengan kuadrat tinggi badan (meter).
Kriteria
Objektif :
Gizi
Buruk : apabila IMT < 18,5 – 22,9
kg/m2
Gizi
Baik : apabila IMT > 18,5 – 22,9
kg/m2
3. Jenis
kelamin
Jenis kelamin yang dimaksud peneliti dalam penelitian ini
adalah jenis kelamin pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani terapi
hemodialis.
kritteria
objektif :
Perempuan
: apabila tercatat di KTP berjenis
kelamin Perempuan
Laki-laki
: apabila tercatat di KTP berjenis
kelamin Laki-laki
4. Pekerjaan
Pekerjaan yang dimaksud peneliti dalam penelitian ini
adalah pekerjaan pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani terapi
hemodialis.
kriteria
objektif :
Tidak
Bekerja / Beraktivitas : apabila responden tidak melakukan kegiatan secara
aktif,contoh pesiunan PNS, Pensiunan TNI/POLRI, dan lain-lain.
Bekerja/Beraktivitas
: apabila responden melakukan kegiatan tertentu secara aktif,seperti
wiraswasta, PNS, TNI/POLRI, Petani, dan lain-lain.
5. Lama HD
Lama HD yang dimaksud peneliti dalam penelitian ini
adalah lama HD pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialis.
kriteria
objektif :
Belum
lama :apabila responden melakukan hemodialisis < 6 bulan.
Lama
:apabila responden melakukan hemodialisis > 6 bulan.
6. Anemia
pada pasien penyakit ginjal kronik yang melakukan hemodialisis.
Anemia pada pasien penyakit ginjal kronik yang melakukan
hemodialisis.
kriteria objektif :
Anemia :
apabila kadar hemoglobin < 11 gr persen
Tidak anemia : apabila kadar hemoglobin > 11 gr persen
BAB IV
METODE PENELITIAN
A.
Desain
Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif
analitik dengan pendekatan Accidental
sampling. Menurut
Sugiyono (2005) Accidental sampling
adalah mengambil responden sebagai sampel berdasarkan kebetulan, yaitu siapa
saja yang secara kebetulan bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai
sampel bila orang yang kebetulan ditemui cocok sebagai sumber data. Teknik ini
biasanya dilakukan karena keterbatasan waktu, tenaga, dan dana sehingga tidak
dapat mengambil sampel yang besar dan jauh. Keuntungan dari pada teknik ini
adalah terletak pada ketepatan peneliti memilih sumber data sesuai dengan
variabel yang diteliti yaitu factor-faktor yang berhubungan dengan
kejadian anemia pada pasien penyakit ginjal kronik yang melakukan hemodialisis
di ruang hemodialisis RS. Labuang Baji Makassar.
B. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di
ruang hemodialisis RS. Labuang Baji Makssar.
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan
pada bulan November 2012.
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri
atas objek atau subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang
ditetapkan oleh peneliti (Hidayat 2007).
Pada penelitian ini populasi penelitian adalah
seluruh pasien yang menjalani terapi hemodialisis diruang hemodialisis Rumah
Sakit Labuang Baji Makassar sebanyak 31 orang.
2. Sampel
Sampel penelitian ini adalah bagian (subset) dari
populasi yang dipilih dengan cara
tertentu hingga dianggap dapat mewakili populasinya (Sastroasmoro, 2008).
Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh pasien
yang menjalani terapi hemodialisis diruang hemodialisis Rumah Sakit Labuang
Baji Makassar yang dengan menggunakan total sampling yaitu semua pasien yang
menjalani terapi hemodialisis diruang hemodialisis Rumah Sakit labuang Baji
Makassar yang memenuhi kriteria sebagai berikut :
a.
Kriteria inklusi dalam penelitian ini :
1)
Pasien dengan penyakit ginjal kronik, yang
menjalani hemodialisis.
2)
Pasien hemodialisis yang menjalani perawatan
inap dan rawat jalan, dengan frekuensi
hemodialisis > 1 kali dalam 1 tahun terakhir.
3)
Pasien hemodialisis berusia dewasa (18 - 40
tahun), dewasa madya (41- 60 tahun), dan
lansia (> 60 tahun).
4)
Pasien hemodialisis dengan pembiayaan
hemodialisis secara
mandiri ataupun bantuan pihak lain.
5)
Pasien yang bersedia untuk berpartisipasi
dalam penelitian.
b. Kriteria eksklusi dalam penelitian ini :
1) Pasien
dengan ketidakmampuan berkomunikasi.
2) Pasien
dengan penurunan kesadaran.
3) Pasien
yang tidak bersedia berpartisipasi dalam penelitian.
D. Rencana Pengolahan dan Analisa Data
1. Pengolahan data
a. Editing
Setelah semua data diedit
ulang, kemudian dilakukan pemeriksaan
kelengkapan data, kesinambungan data keseragaman data.
b. Koding
Untuk memudahkan pengolahan
data, maka semua jawaban diberi simbol-simbol tertentu untuk setiap jawaban
dengan pengkodean.
c. Tabulating
Menyusun data-data kedalam
tabel yang sesuai dengan analisis dan selanjutnya data tersebut
dianalisis.
d. Setelah data ditabulasi
maka pengolahan dilakukan dengan menggunakan
program komputer yang disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi.
2. Analisa Data
Setelah dilakukan tiga
tahapan di atas maka selanjutnya data diolah dengan menggunakan bantuan program
computer SPSS.
a.
Analisa Univariat
Untuk menampilkan istribusi
frekuensi dan presentase dari tiap-tiap variable (independen dan dependen)
dalam bentuk table atau gambar.
b.
Analisa Bivariat
Untuk melihat hubungan antara
variable independen dan variable dependen dengan menggunakan uji statistic chi-square dengan batas kemaknaan p < 0,05, yang berarti ada hubungan
antara dua variable yang diukur.
E.
Instrumen Penelitian
Instrument yang digunakan
dalam penelitian ini adalah Observasi langsung. Observasi adalah metode
pengumpulan data melalui pengamatan langsung atau peninjauan secara cermat dan
langsung di lapangan atau lokasi penelitian. Dalam hal ini, peneliti dengan
berpedoman kepada desain penelitiannya perlu mengunjungi lokasi penelitian
untuk mengamati langsung berbagai hal atau kondisi yang ada di lapangan.
Penemuan ilmu pengetahuan selalu dimulai dengan observasi dan kembali kepada
observasi untuk membuktikan kebenaran ilmu pengetahuan tersebut. (Nursalam,
2006).
Pengumpulan data dilakukan
dengan cara observasi langsung. Pengumpulan data tentang umur, status gizi,
pekerjaan, jenis kelamin, dan lama HD didapatkan
dari observasi langsung.
F.
Etika Penelitian
Dalam melakukan penelitian,
peneliti memandang perlu adanya rekomendasi dari pihak institusi atas pihak
lain dengan mengajukan permohonan izin kepada instansi tempat penelitian dalam
hal ini Rumah Sakit Labuang Baji Makassar.
Setelah mendapat persetujuan
barulah dilakukan penelitian dengan menekankan masalah etika penelitian yang
meliputi :
1. Informed
consent
Lembar persetujuan ini
diberikan kepada responden yang akan diteliti yang memenuhi kriteria inklusi dan
disertai judul penelitian dan manfaat penelitian. Bila subjek menolak maka
peneliti tidak akan memaksakan kehendak dan tetap menghormati hak-hak subjek.
2. Anonimity
(tanpa nama)
Untuk
menjaga kerahasiaan peneliti tidak akan mencantumkan nama responden, tetapi lembar
tersebut diberikan kode.
3. Confidentiality
Kerahasiaan
informasi responden dijamin oleh peneliti dan hanya kelompok data tertentu yang
akan dilaporkan sebagai hasil penelitian.
HASIL DAN
PEMBAHASAN
A.
Profil Rumah Sakit Labuang Baji Makassar
1. Visi Rumah Sakit Labuang Baji
Makassar
Rumah Sakit Unggulan Sulawesi Selatan
2. Misi Rumah Sakit Labuang Baji Makassar
a.
Mewujudkan
Profesionalisme SDM
b.
Meningkatkan
Sarana dan Prasarana Rumah Sakit
c.
Memberikan
Pelayanan Prima
d.
Efisiensi
Biaya Rumah Sakit
e.
Meningkatkan
Kesejahteraan Karyawan
3. Motto Rumah Sakit Labuang Baji
Makassar
Siap Dengan Pelayanan Komunikatif, Bermutu, Aman, Jujur
Dan Ikhlas.
4.
Falsafah Rumah Sakit Labuang Baji Makassar
Bahwa Kesehatan Jasmani Maupun Rohani Merupakan Hak Setiap Orang, Oleh
Karena Itu Rumah Sakit Berusaha Untuk Memberikan Pelayanan Kesehatan Yang
Terbaik Kepada Masyarakat, Bik Bersifat Penyembuhan, Pemulihan, Pencegahan
Maupun Peningkatan Serta Ditunjang Oleh Kwalitas Sumber Daya Manusia.
5. Tujuan Rumah Sakit Labuang Baji
Makassar
a.
Meningkatnya
Kemampuan Profesionalisme
b.
Terwujudnya
Sarana Pelayanan Yang Aman Dan Nyaman
6. Fasilitas
Pelayanan Medik Rumah Sakit Labuang Baji Makassar
a.
Instalasi Rawat Jalan
1) Poliklinik
Mata
2) Poliklinik
Bedah
3) Poliklinik
Paru dan TB
4) Poliklinik
Kebidanan, Kandungan dan KB
5) Poliklinik KIA
dan Laktasi
6) Poliklinik
Penyakit Dalam
7) Poliklinik
Saraf
8) Poliklinik
Kardiologi
9) Poliklinik
Mulut dan Gigi
10) Poliklinik Fisioterapi
11) Poliklinik Paru
12) Poliklinik Endokrin
13) Poliklinik THT
14) Poliklinik Kulit dan Kelamin
15) Poliklinik Konsultasi Gizi
16) Poliklinik Jiwa
17) Poliklinik Anak
18) Unit Hemodialisa
19)
Apotek Rawat Jalan
20) General Chek Up
21) Poliklinik Jantung
22) Poliklinik Bedah Orthopedi
23) Poliklinik Bedah Urologi
b. Instalasi Rawat Inap
1) 14 ruang perawatan umum
2) 6 (enam) ruang perawatan khusus (ruang bedah sentral,
bedah kebidanan/kandungan, perawatan khusus/RPK, rawat intensif, hemodialisa,
kamar bersalin), dan perawatan CVCU.
B. Hasil Penelitian
Penelitian
ini dilaksanakan di Rumah
Sakit Labuang Baji makassar dari tanggal
14 November - 14 Desember 2012. Banyaknya
sampel yang direncanakan adalah 31 orang responden namun yang memenuhi
kriteria inklusi hanya 21 responden.
Data
primer diambil melalui pemberian Lembar observasi kepada responden. Dari hasil
pengolahan data yang dilakukan, maka berikut ini akan disajikan karakteristik
demografi responden, analisa univariat dan analisa bivariat variabel yang
diteliti.
1. Karakteristik Demografi Responden
Distribusi
Responden Berdasarkan Karakteristik Demografi
di Ruang
Hemodialisis RS Labuang Baji Makassar 2012
Karakteristik
|
n
|
%
|
Umur:
Dewasa
Lansia
|
17
4
|
81,0
19,0
|
Status Gizi :
Gizi Buruk
Gizi
Baik
|
20
1
|
95,2
4,8
|
Jenis Kelamin :
Laki-laki
Perempuan
|
15
6
|
71,4
28,6
|
Pekerjaan:
Bekerja
Tidak
Bekerja
|
18
3
|
85,7
14,3
|
Lama
HD :
Belum
Lama
Lama
|
20
1
|
95,2
4,8
|
Anemia
:
Ya
Tidak
|
14
7
|
66,7
33,3
|
Jumlah
|
21
|
100
|
Sumber
: Data Primer, 2012
|
2. Analisa Univariat
Dalam anlisis ini akan diuraikan distribusi frekwensi
semua variabel yang diteliti meliputi Umur, Jenis kelamin, Pekerjaan, Status
gizi, HD ke berapa, Lama HD, Dan Anemia .
a. Umur
Tabel
5.2
Distribusi Responden
Berdasarkan Umur yang Mengalami Anemia Pada Pasien Penyakit
Ginjal
Kronik
yang Melakukan Hemodialisis
Di
Rumah Sakit Labuang Baji
Makassar
2012
Umur
|
n
|
%
|
Dewasa
Lansia
|
17
4
|
81,0
19,0
|
Total
|
21
|
100,0
|
Sumber
: Data Primer, 2012
Dari tabel 5.2 tentang distribusi
responden berdasarkan umur yang mengalami anemia pada pasien penyakit ginjal
kronik yang melakukan hemodialisis di rumah sakit labuang baji Makassar 2012
menunjukan dari 21 responden yang berumur dewasa (18-60 tahun) sebanyak 17
orang (81,0%), sedangkan lansia (> 60 tahun) sebanyak 4 orang (19,0%).
b.
Status Gizi
Tabel
5.3
Distribusi Responden
Berdasarkan Status Gizi yang Mengalami Anemia Pada Pasien Penyakit
Ginjal
Kronik yang Melakukan Hemodialisis
Di
Rumah Sakit Labuang Baji
Makassar
2012
Status
Gizi
|
n
|
%
|
Gizi Baik
Gizi Buruk
|
20
1
|
95,2
4,8
|
Total
|
21
|
100,0
|
Sumber : Data Primer 2012
Dari tabel 5.3 tentang distribusi
responden berdasarkan Status gizi yang mengalami anemia pada pasien penyakit
ginjal kronik yang melakukan hemodialisis di rumah sakit labuang baji Makassar
2012 menunjukan dari 21 responden yang berstatus gizi baik sebanyak 20 orang (95,2%),
dan gizi buruk sebanyak 1 orang (4,8%).
c.
Jenis Kelamin
Tabel
5.4
Distribusi Responden
Berdasarkan Jenis Kelamin
yang Mengalami Anemia Pada Pasien Penyakit Ginjal
Kronik
yang Melakukan Hemodialisis
Di
Rumah Sakit Labuang Baji
Makassar
2012
Jenis
Kelamin
|
n
|
%
|
Laki-laki
|
15
|
71,4
|
Perempuan
|
6
|
28,6
|
Total
|
21
|
100,0
|
Sumber
: Data Primer 2012
Dari tabel 5.4 tentang distribusi
responden berdasarkan Jenis Kelamin yang mengalami anemia pada pasien penyakit
ginjal kronik yang melakukan hemodialisis di rumah sakit labuang baji Makassar
2012 menunjukan dari 21 responden yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 15 orang
(71,4%), dan perempuan sebanyak 6 orang (28,6%).
d.
Pekerjaan
Tabel
5.5
Distribusi Responden
Berdasarkan Pekerjaan yang Mengalami Anemia Pada Pasien Penyakit
Ginjal
Kronik
yang Melakukan Hemodialisis
Di
Rumah Sakit Labuang Baji
Makassar
2012
Pekerjaan
|
n
|
%
|
Bekerja
|
18
|
85,7
|
Tidak
Bekerja
|
3
|
14,3
|
Total
|
21
|
100,0
|
Sumber : Data Primer 2012
Dari tabel 5.5 tentang distribusi
responden berdasarkan Jenis Kelamin yang mengalami anemia pada pasien penyakit
ginjal kronik yang melakukan hemodialisis di rumah sakit labuang baji Makassar
2012 menunjukan dari 21 responden yang bekerja sebanyak 18 orang (85,7%), dan
tidak bekerja sebanyak 3 orang (14,3%).
e.
Lama HD
Tabel
5.6
Distribusi Responden
Berdasarkan Lama HD yang Mengalami Anemia Pada Pasien Penyakit
Ginjal
Kronik
yang Melakukan Hemodialisis
Di
Rumah Sakit Labuang Baji
Makassar
2012
Lama HD |
n |
% |
Lama
Belum Lama
|
1
20
|
4,8
95,2
|
Total |
21 |
100,0 |
Sumber : Data Primer 2012
Dari tabel 5.6 tentang distribusi
responden berdasarkan Lama HD yang mengalami anemia pada pasien penyakit ginjal
kronik yang melakukan hemodialisis di rumah sakit labuang baji Makassar 2012
menunjukan dari 21 responden yang belum lama melakukan Hemodialisis sebanyak 20
orang (95,2%), dan yang sudah lama sebanyak 1 orang (4,8%).
f.
Anemia
Tabel 5.7
Distribusi Responden
Berdasarkan Anemia yang Mengalami Anemia Pada Pasien Penyakit
Ginjal
Kronik
yang Melakukan Hemodialisis
Di
Rumah Sakit Labuang Baji
Makassar
2012
Anemia
|
n
|
%
|
Ya
Tidak
|
14
7
|
66,7
33,3
|
Total
|
21
|
100,0
|
Sumber
: Data primer 2012
Dari tabel 5.7 tentang distribusi
responden berdasarkan pasien yang mengalami anemia pada pasien penyakit ginjal
kronik yang melakukan hemodialisis di rumah sakit labuang baji Makassar 2012
menunjukan dari 21 responden yang tidak mengalami anemia sebanyak 14 orang (66,7%),
dan yang mengalami sebanyak 7 orang (33,3%).
3.
Analisa Bivariat
a. Hubungan
Umur Dengan Anemia
Tabel 5.8
Hubungan Umur dengan Anemia Pada
Pasien Penyakit Ginjal Kronik yang Melakukan Hemodialisis
Di Rumah Sakit Labuang Baji
Makassar
2012
Umur
|
Anemia
|
Jumlah
|
Nilai
p
|
||||
Ya
|
Tidak
|
||||||
n
|
%
|
n
|
%
|
n
|
%
|
||
Dewasa
Lansia
|
11
3
|
64,7
75,0
|
6
1
|
35,3
25,0
|
17
4
|
100
100
|
0,593
|
Total
|
13
|
61,9
|
8
|
38,1
|
21
|
100
|
Sumber
: Data Primer 2012
Berdasarkan
Tabel 5.8 terlihat responden mengalami anemia pada dewasa sebanyak 11 orang
(64,7%), dan yang tidak mengalami anemia pada dewasa sebanyak 6 orang (35,3%).
Sedangkan pada lansia yang mengalami anemia sebanyak 3 orang (75,0%), dan yang
tidak mengalami anemia sebanyak 1 orang (25,0%).
Dari
hasil Uji Statistik chi square Fisher’s Extract
Test diperoleh nilai p=0,593
lebih besar dari α=0,05, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak ada
hubungan yang bermakna antara umur dengan anemia.
b. Hubungan
Antara Status Gizi dengan Anemia
Tabel 5.9
Hubungan Status Gizi dengan
Anemia pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik yang Melakukan
Hemodialisis
Di Rumah Sakit Labuang Baji
Makassar
2012
Status Gizi
|
Anemia
|
Jumlah
|
Nilai
p
|
||||
Ya
|
Tidak
|
||||||
n
|
%
|
n
|
%
|
n
|
%
|
||
Gizi
Baik
Gizi
Buruk
|
13
1
|
65,0
100
|
7
0
|
35,0
0,0
|
20
1
|
100
100
|
0,667
|
Total
|
14
|
66,7
|
7
|
33,3
|
21
|
100
|
Sumber
: Data Primer 2012
Berdasarkan Tabel 5.9 terlihat
responden yang mengalami anemia pada gizi baik sebanyak 13 orang (65,0%) dan
yang tidak mengalami anemia sebanyak 7 orang (35,0%), pada semua pasien gizi
buruk mengalami anemia sebanyak 1 orang ( 100%).
Dari hasil Uji Statistik chi square Fisher’s Extract Test diperoleh
nilai p=0,667 lebih besar dari
α=0,05, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang
bermakna antara status gizi dengan anemia.
c. Hubungan
Jenis Kelamin dengan Anemia
Tabel 5.10
Hubungan Jenis
Kelamin dengan Anemia
Pada Pasien Penyakit Ginjal
Kronik yang Melakukan Hemodialisis
Di Rumah Sakit Labuang Baji
Makassar
2012
Jenis Kelamin
|
Anemia
|
Jumlah
|
Nilai
p
|
||||
Ya
|
Tidak
|
||||||
n
|
%
|
n
|
%
|
n
|
%
|
||
Laki-laki
Perempuan
|
10
4
|
66,7
66,7
|
5
2
|
33,3
33,3
|
15
6
|
100
100
|
0,701
|
Total
|
14
|
66,7
|
7
|
33,3
|
21
|
100
|
Sumber
: Data Primer 2012
Berdasarkan Tabel 5.10 terlihat
responden yang mengalami anemia pada jenis kelamin Laki-laki sebanyak 10 orang
(66,7%) dan yang tidak mengalami anemia sebanyak 5 orang (33,3%). Sedangkan pada
perempuan yang mengalami anemia sebanyak 4 orang (66,7%) dan yang tidak
mengalami anemia sebanyak 2 orang (33,3%).
Dari hasil Uji Statistik chi square Fisher’s Extract Test diperoleh
nilai p=0,701 lebih besar dari
α=0,05, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang
bermakna antara jenis kelamin dengan anemia.
d. Hubungan
antara pekerjaan dengan anemia
Tabel 5.11
Hubungan Pekerjaan
dengan Anemia Pada
Pasien Penyakit Ginjal Kronik yang Melakukan Hemodialisis
Di Rumah Sakit Labuang Baji
Makassar
2012
Pekerjaan
|
Anemia
|
Jumlah
|
Nilai
p
|
||||
Ya
|
Tidak
|
||||||
n
|
%
|
n
|
%
|
n
|
%
|
||
Bekerja
Tidak
Bekerja
|
11
3
|
61,1
100
|
7
0
|
38,9
0,0
|
18
3
|
100
100
|
0,274
|
Total
|
14
|
66,7
|
7
|
33,3
|
21
|
100
|
Sumber
: Data Primer 2012
Berdasarkan Tabel 5.11 terlihat
responden yang mengalami anemia pada pasien yang bekerja sebanyak 11 orang
(61,1%) dan yang tidak mengalami anemia sebanyak 7 orang (38,9%), pada semua
pasien tidak bekerja yang mengalami anemia sebanyak 3 orang (100%).
Dari hasil Uji Statistik chi square Fisher’s Extract Test diperoleh
nilai p=0,274 lebih besar dari
α=0,05, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang
bermakna antara pekerjaan dengan anemia.
e. Hubungan
antara lama HD dengan Anemia.
Tabel 5.12
Hubungan Lama
HD dengan Anemia
Pada Pasien Penyakit Ginjal
Kronik yang Melakukan Hemodialisis
Di Rumah Sakit Labuang Baji
Makassar
2012
Lama HD
|
Anemia
|
Jumlah
|
Nilai
p
|
||||
Ya
|
Tidak
|
||||||
n
|
%
|
n
|
%
|
n
|
%
|
||
Belum
lama
Lama
|
13
1
|
65,0
100
|
7
0
|
35,0
0,0
|
20
1
|
100
100
|
0,667
|
Total
|
14
|
66,7
|
7
|
33,3
|
21
|
100
|
Sumber
: Data Primer 2012
Berdasarkan Tabel 5.12 terlihat
responden yang mengalami anemia pada pasien yang belum lama melakukan HD sebanyak
13 orang (65,0%) dan yang tidak mengalami anemia sebanyak 7 orang (35,0%), pada
semua pasien yang sudah lama melakukan HD mengalami anemia sebanyak 1 orang
(100%).
Dari hasil Uji Statistik chi square Fisher’s Extract Test diperoleh
nilai p=0,667 lebih besar dari
α=0,05, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang
bermakna antara Lama HD dengan anemia.
C.
Pembahasan
1. Hubungan antara Umur dengan Anemia
Berdasarkan hasil univariat tentang distribusi responden
berdasarkan umur yang mengalami anemia pada pasien penyakit ginjal kronik yang
melakukan hemodialisis di rumah sakit labuang baji Makassar 2012 menunjukan
dari 21 responden yang berumur dewasa (18-60 tahun) sebanyak 17 orang (81,0%),
sedangkan lansia (> 60 tahun) sebanyak 4 orang (19,0%).
Dari
hasil Uji Statistik chi square Fisher’s
Extract Test diperoleh nilai p=0,593
lebih besar dari α=0,05, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak ada
hubungan yang bermakna antara umur dengan anemia.
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Suryanto (2005)
yang menemukan bahwa ada hubungan antara umur dengan kejadian anemia pada
pasien penyakit ginjal kronik yang melakukan hemodialisis. Di umur lansia resiko terjadinya
anemia sangat besar. Semakin bertambah usia seseorang semakin berisiko mengalami
malanutrisi. Bila malanutrisi ini tidak ditangani dengan baik bisa berlanjut ke
keadaan kekurangan energi, protein, zat besi dan nutrisi lain. Kekurangan zat
besi dapat berisiko anemia, mudah lelah dan menurunnya level imun (oktaviani,
2013).
Penelitian
ini juga tidak sejalan dengan penelitian Prasetyo (2008) yang menemukan bahwa
umur berpengaruh terhadap kejadian anemia yaitu
pada usia >35 tahun merupakan gerbang memasuki periode usia risiko
tinggi dari segi reproduksi maupun fungsi organ-organ lainnya menjalankan
fungsinya seperti penurunan kemampuan penyerapan zat besi sehingga terjadi
anemia (Henderson, 2006).
Jika
dilihat dari sisi biologis, usia 18-25 tahun biasanya organ-organ tubuh sudah
berfungsi dengan baik dan belum ada penyakit-penyakit degenerative seperti
darah tinggi, diabetes, dan lainnya serta daya tahan tubuh masih kuat.tetapi
pada usia >25 adalah usia yang rentan akan penyakit kronik seperti gagal
ginjal kronik (Dini, 2009).
Tidak
ditemukannya hubungan antara umur dengan kejadian anemia pada penelitian ini
disebabkan karena pada penelitian ini lebih dari setengah responden berumur
dewasa (81,0%) dan selebihnya yaitu responden lansia (19,0%). Sedangkan anemia
yang berkaitan dengan umur cenderung dialami pada pasien dengan umur lansia
yaitu > 60 tahun. Dimana hal ini menunjukan bahwa data yang dimiliki
cenderung homogeny. Dan dalam
penelitian ini responden yang berumur lansia hanya sedikit. Meskipun umur
sangat berhubungan dengan kejadian anemia namun tidak selamanya mempengaruhi
kejadian anemia pada umur tertentu terutama pada umur dewasa karena pada umur
tersebut organ – organ tubuh masih berfungsi dengan baik dan masih bisa menyeimbangkan
antara aktivitas dan istirahat (Dini, 2009).
2.
Hubungan antara Status Gizi dengan anemia
Berdasarkan hasil univariat tentang distribusi responden
berdasarkan Status gizi yang mengalami anemia pada pasien penyakit ginjal
kronik yang melakukan hemodialisis di rumah sakit labuang baji Makassar 2012
menunjukan dari 21 responden yang berstatus gizi baik sebanyak 20 orang (95,2%),
dan gizi buruk sebanyak 1 orang (4,8%).
Dari
hasil Uji Statistik chi square Fisher’s
Extract Test diperoleh nilai p=0,667
lebih besar dari α=0,05, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak ada
hubungan yang bermakna antara status gizi dengan anemia.
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Levin (2008)
yang menemukan bahwa terjadi kelainan gizi berupa malnutrisi protein dan
protein pada gagal ginjal kronik yang didialisis. Kehilangan protein dalam
tindakan dialisis, bila tidak ditanggulangi dengan baik,akan menyebabkan
gangguan status gizi termasuk anemia.
Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan Halima (2012) yang menemukan tidak ada hubungan
antara status gizi dan anemia karena lebih dari setengah responden memiliki
status gizi yang baik. Apabila status gizi baik, maka tingkatan anemia pada pasien
dapat dicegah.
Status gizi dapat mempengaruhi
kejadian anemia karena adanya pembatasan asupan karena diet. Untuk mengetahui
baik buruknya gizi seseorang yang biasa
di gunakan adalah berat badan (Gibson, 2010).
Tidak
ditemukannya hubungan antara status gizi berdasarkan IMT dengan kejadian anemia
pada penelitian ini disebabkan karena pada penelitian ini lebih dari setengah
responden status gizinya normal (95,2%) dan selebihnya yaitu
responden dengan status gizi buruk (4,8%). Sedangkan anemia yang
berkaitan dengan status gizi cenderung
dialami pada pasien dengan malnutrusi. Dan dalam
penelitian ini insiden malnutrisi hanya sedikit. Meskipun secara tradisional indikator malnutrisi, yaitu
terajdi turunnya masa otot atau serum protein yang dapat menyebabkan terjadinya
anemia, namun apabila status gizi baik, maka tingkatan anemia pada pasien dapat
dicegah.
3.
Hubungan antara Jenis Kelamin dengan anemia
Berdasarkan hasil univariat tentang distribusi responden
berdasarkan Jenis Kelamin yang mengalami anemia pada pasien penyakit ginjal
kronik yang melakukan hemodialisis di rumah sakit labuang baji Makassar 2012
menunjukan dari 21 responden yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 15 orang
(71,4%), dan perempuan sebanyak 6 orang (28,6%).
Dari
hasil Uji Statistik chi square Fisher’s
Extract Test diperoleh nilai p=0,701
lebih besar dari α=0,05, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak ada
hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan anemia.
Hasil penelitian ini
tidak sejalan dengan yang dikemukakan Yuliansari
(2007)
bahwa jenis
kelamin berpengaruh terhadap kejadian anemia setelah melakukan hemodialisis di mana
perempuan lebih beresiko mengalami anemia. Hal yang membuat wanita lebih
berisiko terkena anemia adalah siklus haid atau menstruasi yang tidak normal.
Siklus haid atau menstruasi yang normal itu berkisar antara 22-35 hari dihitung
dari hari pertama haid hingga hari pertama haid pada bulan berikutnya.Lama
menstruasi yang normal itu antara 3-7 hari (Irawan,
2008).
Tidak
ditemukannya hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian anemia pada
penelitian ini disebabkan karena pada penelitian ini lebih dari setengah
responden berjenis kelamin laki – laki (71,4%) dan selebihnya yaitu
responden berjenis kelamin perempuan (28,6%). Sedangkan anemia yang berkaitan dengan jenis kelamin cenderung dialami pada pasien berjenis
kelamin perempuan. Dan dalam
penelitian ini responden yang berjenis kelamin perempuan hanya sedikit. Meskipun
jenis kelamin sangat berhubungan dengan kejadian anemia namun tidak selamanya
mempengaruhi kejadian anemia pada jenis kelamin tertentu terutama pada jenis
kelamin laki-laki karena kadar hemoglobin antara laki - laki dan perempuan
berbeda. Selain itu perempuan memiliki siklus haid setiap bulan, sehingga
membutuhkan zat besi dua kali lebih banyak daripada
laki – laki (Rajab, 2009).
4.
Hubungan antara Pekerjaan dengan anemia
Berdasarkan hasil univariat tentang
distribusi responden berdasarkan Jenis Kelamin yang mengalami anemia pada
pasien penyakit ginjal kronik yang melakukan hemodialisis di rumah sakit
labuang baji Makassar 2012 menunjukan dari 21 responden yang bekerja sebanyak
18 orang (85,7%), dan tidak bekerja sebanyak 3 orang (14,3%).
Dari
hasil Uji Statistik chi square Fisher’s
Extract Test diperoleh nilai p=0,274
lebih besar dari α=0,05, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak ada
hubungan yang bermakna antara pekerjaan dengan anemia.
Hasil penelitian ini tidak
sejalan dengan penelitian Suryanto (2005) yang menemukan bahwa pekerjaan
berpengaruh terhadap kejadian anemia pada pasien yang melakukan hemodialisis. Banyak orang sering melakukan
aktivitas yang berlebihan tanpa memikirkan kesehatanya.melakukan aktivitas yang
berlebihan dapat menyebabkan lemah,letih dan lesu,dimana lemah ,letih dan lesu
dapat menyebabkan anemia.melakukan aktivitas boleh saja akan tetapi harus di
seimbangkan dengan istrahat yang cukup,olahraga yang teratur dan juga makanan
yang bergizi (Pujangkoro,2006).
Tidak
ditemukannya hubungan antara pekerjaan dengan kejadian anemia pada penelitian
ini disebabkan karena pada penelitian ini lebih dari setengah responden yang
bekerja (85,7%) dan selebihnya yaitu responden yang tidak bekerja (14,3%).
Sedangkan anemia yang berkaitan dengan pekerjaan cenderung dialami pada pasien yang
melakukan pekerjaan berat. Jenis pekerjaan seseorang berpengaruh terhadap
resiko terjadinya anemia. Dan dalam penelitian ini pekerjaan yang diteliti
bukanlah jenis pekerjaanya tetapi apakah dia bekerja atau tidak.
5.
Hubungan antara lama HD dengan anemia
Berdasarkan hasil univariat tentang distribusi responden
berdasarkan Lama HD yang mengalami anemia pada pasien penyakit ginjal kronik
yang melakukan hemodialisis di rumah sakit labuang baji Makassar 2012
menunjukan dari 21 responden yang belum lama melakukan Hemodialisis sebanyak 20
orang (95,2%), dan yang sudah lama sebanyak 1 orang (4,8%).
Dari
hasil Uji Statistik chi square Fisher’s
Extract Test diperoleh nilai p=0,667
lebih besar dari α=0,05, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak ada
hubungan yang bermakna antara Lama HD dengan anemia.
Hasil
penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Suryanto
(2005) yang menunjukkan bahwa lama HD mempengaruhi kejadian anemia
karena Kehilangan darah akibat waktu yang cukup lama dari terapi hemodialisa.
Hal ini dapat terjadi karena hampir tidak mungkin semua darah pasien kembali
seluruhnya setelah terapi hemodialisa. Pasti ada darah pasien yang tinggal di
dialyzer (ginjal buatan) atau bloodline, meskipun jumlah nya tidak signifikan (Jansen,2007).
Rata-rata tiap orang memerlukan waktu
9 sampai 12 jam dalam seminggu untuk mencuci seluruh darah yang ada, tetapi
karena ini waktu yang cukup panjang, maka biasanya akan dibagi menjadi tiga
kali pertemuan dalam seminggu selama 3-5 jam setiap kali hemodialisa (Hartawan,
2010).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Bandiara
(2005) yang menghitung jumlah zat besi yang hilang pada penderita gagal
ginjal kronis yang menjalani hemodialisis reguler adalah 1,5 gram hingga 2,0
gram setiap tahunnya. Jumlah ini jauh lebih besar daripada zat besi yang dapat
diserap melalui makanan oleh saluran cerna yaitu 1-2 mg per hari atau dapat
meningkat sampai 4 mg pada keadaan defisiensi zat besi, sehingga pada penderita
gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisis reguler, pemberian suplementasi
terapi zat besi hampir selalu harus diberikan untuk mencegah defisiensi zat
besi.
Tidak
ditemukannya hubungan antara Lama HD dengan kejadian anemia pada penelitian ini
disebabkan karena pada penelitian ini lebih dari setengah responden belum lama
menjalani terapi hemodialisis (95,2%) dan selebihnya yaitu responden yang sudah
lama (4,8%). Sedangkan anemia yang berkaitan dengan lama HD cenderung dialami
pada pasien yang menjalani terapi hemodialisis dalam waktu yang lama. Dan dalam
penelitian ini responden yang sudah lama menjalani terapi hemodialisis hanya
sedikit. Meskipun lama HD sangat berhubungan dengan kejadian anemia namun tidak
selamanya mempengaruhi kejadian anemia pada berapa lama orang tersebut
melakukan HD, terutama pada orang yang belum lama melakukan HD karena pada
orang yang sudah lama melakukan HD beresiko mengalami anemia karena Kehilangan
darah akibat waktu yang cukup lama dari terapi hemodialisa.
BAB VI
KESIMPULAN DAN
SARAN
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian tentang
faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian anemia pada pasien penyakit
ginjal kronik yang melakukan hemodialisis di Rumah Sakit Labuang Baji Makassar dapat
diambil kesimpulan :
1.
Tidak ada hubungan antara umur dengan kejadian anemia
pada pasien penyakit ginjal kronik yang melakukan hemodialisis di Rumah Sakit
Labuang Baji Makassar.
2.
Tidak ada hubungan antara status gizi dengan kejadian
anemia pada pasien penyakit ginjal kronik yang melakukan hemodialisis di Rumah
Sakit Labuang Baji Makassar.
3.
Tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian
anemia pada pasien penyakit ginjal kronik yang melakukan hemodialisis di Rumah
Sakit Labuang Baji Makassar.
4.
Tidak ada hubungan antara pekerjaan dengan kejadian
anemia pada pasien penyakit ginjal kronik yang melakukan hemodialisis di Rumah
Sakit Labuang Baji Makassar.
5.
Tidak ada hubungan antara Lama HD dengan kejadian anemia
pada pasien penyakit ginjal kronik yang melakukan hemodialisis di Rumah Sakit
Labuang Baji Makassar.
5.A.1.1.1.1 B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian tentang factor
– factor yang berhubungan dengan kejadian anemia pada pasien penyakit ginjal
kronik yang melakukan hemodialisis di Ruang Hemodialisis RS Labuang Baji
Makassar, maka perlu kiranya:
1. Perawat harus menciptakan hubungan
kerja yang baik sehingga mereka dipandang sebagai perawat yang dapat dipercaya
2. Hendaknya dalam melaksanakan pelayanan
keperawatan kepeda pasien, perawat mengutamakan komunikasi dengan baik.
3. Perawat hendaknya berhati-hati dan
memperhatikan latar belakang pendidikan, status sosial pasien dalam melakukan
tindakan keperawatan, sehingga pemahaman pasien tidak berbeda dengan apa yang
dimaksudkan oleh perawat.
DAFTAR
PUSTAKA
Bandiara, R. (2005), Penatalaksanaan
Anemia Defisiensi Besi Pada Pasien Yang Menjalani Hemodialisis,
Universitas Padjajaran & Rumah Sakit
Hasan Sadikin: Bandung.
Black,J.M & Hawks,J.H.2005.Medical Surgical Nursing Clinic Management For PositiveOutcomes.Volume
1.Australia :Elsevier.
Corwin,E.J.2006.Patofisiologi
HVS edisi 3.jakarta : EGC.
Depkes RI.2010. Produktivitas
Anemia. Jakarta : Pusat pendidikan Tenaga Kerja.
Dini,K.dkk. (2009).
Anemia pada hemodialisis. Jakarta: Puspa Swara.
Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI, 2010,
Panduan Penulisan Proposal dan Skripsi, FKM
UMI, Makassar.
Gibson,
R.S. 2010. Principles of Nutritional
Assessment. Oxford: Oxford University Press.
Hadi,H.
2005. Beban Ganda Masalah Gizi Dan
Implikasinya Terhadap KebijakanPembangunan Kesehatan Nasional. Seminar
Kesehatan Nasional . Yogyakarta: CSSG.
Halima.
2012. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Tingkatan Anemia Pada Pasien yang
Mendapatkan Terapi Zat Besi yang Menjalani Hemodialisis. UNHAS.
Henderson, C.(2006). Buku ajar konsep kebidanan, Jakarta: EGC.
Hartono. 2008. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. . Jakarta : Interna
Publishing.
Hartawan,(2010),Dialysis.http://health.nytimes.com/health/guides/test/dialysis/overview.html. Diakses tanggal 22 Oktober 2012.
Hidayat,A.A
(2007). Metode Penelitian Keperawatan Dan
Teknik Analisa Data. Jakarta : Salemba Medika.
Hoffbrand,A.V.2006.Kapita
Selecta Hematologi.Jakarta : EGC
Harlock, 2007. Psikologi
perkembangan edisi 5. Jakarta : Erlangga
Indarti ,J. 2007.Kamus Kedokteran UI Edisi Lima. Jakarta
: FKUI.
Irawan,C.dkk. 2008.
Anemia Dan Wanita. Yogyakarta: Yayasan Esentia Medika.
Iskandarsyah.2006.Psikologis pasien Gagagl Ginjal Kronik.Jakarta
: Air Langga.
Jansen. 2007. Prinsip
Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : EGC.
Kumala,H.C.(2011).Hemodyalisis.http://www.medicinenet.com/hemodialysis/article.htm. Diakses
tanggal 19 Oktober 2012.
Lewis.2005.Medical Surgical Nursing.
New York : Mosby.
Levin, ect
(2008) Guidelines for the management of chronic kidney disease, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2582781/, diakses 22 Juni 2012
Lieske,J,C.2011. Epidemiology of Nephrolithiasis and Chronic Kidney
Disease.USA. Mayo Clinic Division
of Nephrology and Hypertension.
Lubis. (2006). Hubungan
Antara Parameter Cairan Tubuh Yang Diukur Dengan Bio Impedance Analysis Dengan
Derajat Hipertensi Pada Pasien Hemodialisis Reguler. http://www.usu.ac.id/.Diakses tanggal 15
Oktober 2012.
Mietha, (2009). Menghitung
Indeks Massa Tubuh. http://mietha.wordpress.com/2009/03/12/menghitung-indeks-massa-tubuh-imt/. Diakses tanggal 22 Oktober 2012.
Notoatmojo, 2007. Pendidikan Dan prilaku kesehatan.
Jakarta : PT Rineka Cipta
Nursalam,S.P. 2006. Metodologi Riset keperawatan. Jakarta
: CV Sugeng seto.
Oktaviani.2013.http://wolipop.detik.com/read/2013/01/19/125530/2147178/1135/6-suplemen-yang-dibutuhkan-oleh-setiap-wanita. Diakses tanggal 15
Februari 2013.
Patricia,A.P.2006. Medical Surgikal Nersing.Jakarta
: EGC.
Prasetyo, Yudha
Fitrian (2008) Hubungan Usia Terhadap Anemia
Pada Pasien Geriatri Dengan Penyakit Kronik. Undergraduate thesis,
Faculty of Medicine.
Price,S.A, Wilson,L,M. 2006.Patofisiologi konsep klinis
proses-proses penyakit edisi 6 volume 1. Jakarta : Penerbit Buku kedokteran
EGC.
Pujangkoro,S.A. 2006. Analisis
Jabatan. Jurnal Jurusan Teknik
Industri Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.
Rajab, W. 2009. Buku
Ajar Epidemiologi Untuk Mahasiswa Kebidanan.Jakarta : EGC
Rumah Sakit Labuang Baji.2012.Data Rumah Sakit Labuang Baji.Makassar.
Santoso,D. (2008), Angka
Kejadian Sakit Ginjal Di Dunia. http://www.angkakejadian.int/publication/AB%20AGUSS.htm. Diakses tanggal 22 Oktober
2012.
Sastroasmoro.2008. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis
Edisi Ke Tiga.Jakarta : CV. Sagung Seto.
Smeltzer,B.2005.Medical
Surgical Nursing. vol : 2.Jakarta : EGC.
Sugiyono, 2005. Metode
Penelitian Kualitatif. Bandung : Alfabeta.
Supariasa,D.N.
2009. Penilaian Status Gizi. Jakarta:
EGC.
Suryanto,U. 2005. Faktor-faktor
Yang Berhubungan Dengan Anemia Pada Pasien Yang Telah Dilakukan Hemodialysis.Yogyakarta
: FK Universitas Muhammadiyah.
Vida,M. (2008). Epidemologi Gagal Ginjal. (http://vida-ners.
Blogspot.com). Diakses tanggal 22 Oktober 2012.
YDGI, (2005), Penderita
Penyakit Gagal Ginjal. http://www.ygdi.org/. Diakses tanggal 20
Oktober 2012.
YDGI, (2008). Klasifikasi
Stadium Penyakit Gagal Ginjal. http://www.ygdi.org/. Diakses tanggaL 20
Oktober 2012.
Yuliansari, 2007. Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Kejadian Anemia Pada Remaja Dan Dewasa. FKUI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar